Skip to content
Mengenal Apa Itu Perjanjian Back Date, Apa Syarat Sahnya?

Mengenal Apa Itu Perjanjian Back Date, Apa Syarat Sahnya?

Perjanjian back date adalah tindakan memberikan tanggal kembali (tanggal yang sudah lewat) kepada sebuah perjanjian atau dokumen, sehingga terlihat seolah-olah perjanjian tersebut dibuat pada tanggal tersebut, padahal sebenarnya perjanjian tersebut dibuat di tanggal yang berbeda.

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang biasa dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam menjalankan suatu hak dan kewajiban yang sudah diperjanjikan di antara kedua belah pihak. Sedangkan Perjanjian tanggal mundur atau back date merupakan perjanjian yang dibuat untuk mengakomodir perbuatan hukum yang telah lampau. Perjanjian back date tersebut pada dasarnya dibuat berdasarkan kesepakatan dari para pihak sehingga umumnya tidak menimbulkan kerugian kepada para pihak. Permasalahan muncul apabila perjanjian back date ini dibuat dalam bentuk akta otentik, hal ini dikarenakan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dinyatakan bahwa : 

dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib : membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. 

Syarat Sah Perjanjian

Syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah secara umum diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi:

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu pokok persoalan tertentu;
  4. suatu sebab yang tidak terlarang

Syarat pertama dalam pasal tersebut adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak yang membuat perjanjian. Menurut Salim H.S., et.al. dalam bukunya Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya, yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain.

Lebih lanjut dalam Pasal 1321 KUH Perdata disebutkan bahwa:

Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

Oleh karena itu, kesepakatan yang sah adalah kesepakatan yang tidak mengandung unsur kekhilafan, paksaan, dan penipuan. Menurut Pasal 1324 dan Pasal 1325 KUHPerdata kemudian menjelaskan apa yang dimaksud dengan paksaan. Masing-masing berbunyi :

Pasal 1324 KUHPerdata berbunyi :

Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.

Pasal 1325 KUHPerdata berbunyi :

Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah.

Syarat selanjutnya adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Yang tak cakap untuk membuat perjanjian adalah : 

  1. anak yang belum dewasa;
  2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

Syarat sah perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu. Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Pada dasarnya, tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal jumlah itu di kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung. Artinya, meskipun barangnya belum ada pada saat ini, tidak menutup kemungkinan terjadinya perjanjian jika barang itu akan ada di kemudian hari.

Terakhir, berkaitan dengan sebab yang halal, menurut Pasal 1337 KUH Perdata mengatur bahwa:

Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Baca juga: Perjanjian Kerjasama Investasi: Manfaat, Jenis Dan Fungsi

Kekuatan Hukum Perjanjian Back Date

Terdapat ketentuan bagi perjanjian yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 1320 KUH Perdata. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa syarat kesatu dan kedua dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat subjektif, karena terkait tentang para pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat objektif, karena terkait tentang objek perjanjian.

Menurut Salim H.S. dalam buku Hukum Kontrak yaitu Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (hal. 35) menguraikan bahwa perjanjian dapat dibatalkan jika syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi. Salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Namun apabila para pihak tidak mengajukan keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu, perjanjian batal demi hukum jika syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi. Dengan batal demi hukum, sejak semula perjanjian itu dianggap tidak ada.

Syarat pertama terkait kesepakatan dalam Pasal 1320 KUH Perdata juga mencerminkan asas konsensual. Maksud asas konsensual ini, menurut Salim H.S. dalam buku Perancangan Kontrak adalah bahwa kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, maka lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu juga.

Selain itu, sebuah perjanjian juga didasari oleh asas kebebasan berkontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi :

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian, dengan menekankan pada kata “semua, maka pasal tersebut seolah menyatakan pada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja). Perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang.”

Perjanjian back date adalah tindakan memberikan tanggal kembali (tanggal yang sudah lewat) kepada sebuah perjanjian atau dokumen, sehingga terlihat seolah-olah perjanjian tersebut dibuat pada tanggal tersebut, padahal sebenarnya perjanjian tersebut dibuat di tanggal yang berbeda. Perihal perjanjian back date, sebenarnya tidak diatur maupun dilarang oleh undang-undang.

Perjanjian back date tidak ada masalah sepanjang para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut sepakat, dan tidak ada paksaan atau ancaman dalam menandatangani perjanjian tersebut. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, maka setelah ditandatangani, perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.

Perjanjian itu sendiri lahir semenjak adanya kata sepakat dari para pihak. Tetapi perlu diperhatikan apakah dengan adanya perbedaan tanggal penandatanganan dari yang seharusnya, ada pihak lain yang dirugikan atau ada pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan (misalnya saja menghindari pajak dan sebagainya).

Dalam perjanjian juga terdapat asas iktikad baik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata di atas. Adanya asas iktikad baik mengharuskan para pihak melaksanakan perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak. Menurut Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata, asas iktikad baik (good faith) artinya melaksanakan perjanjian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. 

Perjanjian back date merupakan praktik memberikan tanggal yang lebih awal pada sebuah perjanjian atau dokumen daripada tanggal sebenarnya saat perjanjian tersebut dibuat. Praktik ini biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk menghindari konsekuensi hukum tertentu atau memanfaatkan kondisi tertentu yang berlaku pada tanggal tersebut. Namun, perlu diingat bahwa perjanjian back date dapat memiliki konsekuensi hukum yang serius tergantung pada yurisdiksi hukum dan alasan di balik penggunaannya.

Berikut adalah beberapa alasan umum mengapa seseorang mungkin menggunakan perjanjian back date yaitu sebagai berikut:

  1. Pajak yaitu Penggunaan perjanjian back date dapat digunakan untuk menghindari atau mengurangi kewajiban pajak dengan mengatur perjanjian agar terlihat seolah-olah dibuat pada periode pajak tertentu.
  2. Kontrak dan Pembayaran yaitu Dalam beberapa kasus, perjanjian back date digunakan untuk mengatur tanggal pembayaran atau perjanjian kontrak agar sesuai dengan kebutuhan atau persyaratan tertentu.
  3. Batas Waktu yaitu Perjanjian back date juga dapat digunakan untuk memenuhi batas waktu atau persyaratan yang ditetapkan oleh hukum atau peraturan tertentu.
  4. Kepemilikan Saham yaitu Dalam konteks kepemilikan saham atau perusahaan, perjanjian back date dapat digunakan untuk mempengaruhi pemegang saham atau struktur kepemilikan dengan mengubah tanggal efektif perjanjian.
  5. Penyelamatan Bisnis yaitu Dalam situasi di mana bisnis menghadapi kesulitan keuangan atau perubahan kondisi yang signifikan, perjanjian back date dapat digunakan untuk memberikan kesan bahwa perubahan atau tindakan tertentu telah dilakukan sebelumnya untuk memperoleh dukungan atau pembiayaan tambahan.

Praktik ini dapat memiliki konsekuensi hukum, dan akibat hukumnya dapat bervariasi tergantung pada yurisdiksi hukum dan peraturan yang berlaku. Beberapa akibat hukum yang mungkin terjadi akibat perjanjian back date adalah sebagai berikut:

  1. Pelanggaran Hukum adalah Dalam beberapa yurisdiksi, perjanjian back date dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum karena merupakan bentuk pemalsuan tanggal atau manipulasi dokumen.
  2. Keabsahan Perjanjian adalah Keabsahan perjanjian yang back date dapat dipertanyakan. Pengadilan mungkin meragukan integritas perjanjian tersebut dan memutuskan untuk tidak mengakui perjanjian tersebut.
  3. Sanksi Hukum adalah Jika ditemukan bahwa perjanjian back date melibatkan praktik yang curang atau melanggar hukum, pihak yang terlibat dalam praktik tersebut dapat dikenai sanksi hukum, seperti denda atau hukuman pidana.
  4. Kerugian Keuangan adalah Pihak yang terkena dampak negatif dari perjanjian back date dapat mengalami kerugian finansial atau kerugian lainnya, terutama jika perjanjian tersebut menyangkut aspek keuangan atau transaksi bisnis.
  5. Kehilangan Kepercayaan adalah Praktik perjanjian back date dapat merusak reputasi dan kepercayaan dalam bisnis atau hubungan hukum. Hal ini dapat mempengaruhi hubungan dengan mitra bisnis, klien, atau pihak lain yang terlibat.

Penting untuk diingat bahwa peraturan tentang perjanjian back date dapat bervariasi secara signifikan antara yurisdiksi hukum. 

Keabsahan Perjanjian Back Date

Mengenal Apa Itu Perjanjian Back Date, Apa Syarat Sahnya?

Bahwa Perjanjian back date adalah sah bila tidak bertentangan dengan empat syarat sah suatu perjanjian yaitu tidak adanya paksaan, kekhilafan ataupun penipuan, kecakapan para pihak yang turut ikut dalam perjanjian, adanya persetujuan para pihak dan ada suatu sebab yang tidak terlarang menurut Pasal 1337 KUH Perdata. Karena inti dari sebuah perjanjian adalah sebuah kesepakatan, maka jika para pihak yang merasa tidak masalah dengan adanya back date dalam perjanjian mereka, dan perjanjian back date itu tidak dibuat dengan tujuan penyelundupan hukum atau hal-hal lain yang dapat merugikan pihak ketiga (misalnya menghindari pajak dan sebagainya).

Akibat Hukum Dari Perjanjian Back Date

Akibat hukum dari perjanjian yang sah adalah berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, adalah bahwa kesepakatan yang dicapai oleh para pihak dalam perjanjian mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang-undang. Para pihak dalam perjanjian tidak boleh keluar dari perjanjian secara sepihak, kecuali bila telah disepakati oleh para pihak atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang diatur oleh undang-undang atau hal-hal yang disepakati dalam perjanjian. 

Perlu diketahui bahwa syarat kesatu dan kedua Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat subjektif, karena terkait tentang para pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat dalam pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat objektif, karena terkait tentang objek perjanjian. Dalam buku Hukum Kontrak yaitu Teori & Teknik Penyusunan Kontrak yaitu Perjanjian dapat dibatalkan jika syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi. Salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Namun apabila para pihak tidak mengajukan keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. 

Sementara itu, perjanjian batal demi hukum jika syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi. Dengan batal demi hukum, sejak semula perjanjian itu dianggap tidak ada. Syarat pertama sah nya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata mencerminkan asas konsensual. Maksud dari asas konsensual ini adalah bahwa kontak lahir pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, maka lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu juga. Perlu diingat bahwa Perjanjian juga didasari asas kebebasan berkontrak yang telah diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi : 

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Kembali lagi ke pertanyaan awal perihal akibat hukum dari perjanjian back date, sebenarnya tidak diatur secara khusus atau dilarang oleh undang-undang. Menurut Penulis tidak ada masalah sepanjang para pihak yang terkait dalam perjanjian sepakat dan tidak ada paksaan ataupun ancaman dalam menandatangani perjanjian tersebut. Tetapi perlu diperhatikan lagi, apakah dengan adanya perbedaan tanggal penandatanganan dari yang seharusnya, ada pihak lain yang dirugikan atau ada pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan (misalnya untuk menghindari pajak dan sebagainya). Selama perjanjian tersebut berasaskan itikad baik, menurut penulis perjanjian tersebut tidak akan berdampak buruk bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. 

Perjanjian back date adalah sah dimata hukum, jika tidak melanggar syarat-syarat ketentuan sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat sahnya suatu perjanjian terdiri dari empat yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang. Perjanjian Back date tidak akan menjadi masalah jika sepanjang para pihak yang terkait dalam perjanjian sepakat dan tidak ada paksaan atau ancaman dalam menandatangani perjanjian tersebut. Tetapi perlu diperhatikan lagi, apakah dengan adanya perbedaan tanggal penandatanganan dari yang seharusnya, ada pihak lain yang dirugikan atau ada pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Perjanjian Di Bawah Tangan

Hubungi kami apabila Anda memiliki banyak pertanyaan mengenai Perjanjian, selain itu kami juga dapat membantu Anda untuk pendirian badan hukum / badan usaha lainnya: PT, CV, dan jenis badan usaha lainnya, kami juga dapat membantu anda dalam pengurusan perizinan pada sistem OSS.

Segera hubungi kami:
Email : info@bizlaw.co.id
Whatsapp : (+62) 812 99215128

Leave a Comment