Skip to content
Pengesahan Dokumen Bawah Tangan Notaris

Mengenal Apa Itu Perjanjian di Bawah Tangan

Perjanjian di bawah tangan, yang juga dikenal sebagai perjanjian lisan, adalah jenis perjanjian yang dibuat secara lisan atau tanpa dokumen tertulis resmi.

Dasar hukum perjanjian diatur dalam KUH Perdata. Adapun ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata mengatur asas kebebasan berkontrak yang berbunyi:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal tersebut menyatakan bahwa para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isinya dan bagaimanapun bentuknya. Dengan kata lain, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang dan bagi mereka yang membuatnya.

Istilah perjanjian sering disejajarkan pengertiannya dengan istilah kontrak. Meskipun ada beberapa pakar hukum yang membedakan dua istilah tersebut. Apabila kembali kepada peraturan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam Bab II Buku Ketiga KUH Perdata yang berjudul “Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” secara jelas terlihat bahwa undang- undang memberikan pengertian yang sejajar antara kontrak dan perjanjian.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa antara perjanjian dan kontrak diartikan lebih kurang sama. Dengan demikian segala ketentuan yang terkait dengan hukum perjanjian juga berlaku dalam hukum kontrak. Dalam hal ini penulis setuju dengan pengertian yang tercantum dalam judul Bab II Buku Ketiga KUH Perdata. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan kata “perjanjian” untuk mewakili kata-kata perjanjian atau kontrak.

Syarat Sah Perjanjian

Meskipun demikian, asas kebebasan berkontrak bukan berarti bebas tanpa batas (mutlak). Setiap pihak yang membuat perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian. Adapun syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata yang menjadi dasar hukum perjanjian saat ini adalah : 

1. Kesepakatan Para Pihak

Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan, paksaan, dan penipuan. Secara a contrario, berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.

2. Kecakapan Para Pihak

Menurut Pasal 1329 KUH Perdata, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.

3. Mengenai suatu hal tertentu

Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya dan merupakan barang-barang yang dapat diperdagangkan.

4. Sebab yang halal

Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum.

Asas-Asas Dalam Perjanjian 

Menurut Paul Scholten, asas-asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang ada di dalam dan belakang tiap-tiap sistem hukum, yang telah mendapat bentuk sebagai perundang-undangan atau putusan pengadilan, dan ketentuan- ketentuan dan keputusan itu dapat dipandang sebagai penjabarannya. Dengan demikian, asas-asas hukum selalu merupakan fenomena yang penting dan mengambil tempat yang sentral dalam hukum positif. 

Asas-asas hukum berfungsi sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan harmonisasi, keseimbangan dan mencegah adanya tumpang tindih diantara semua norma hukum yang ada. Asas hukum juga menjadi titik tolak pembangunan sistem hukum dan menciptakan kepastian hukum yang diberlakukan dalam masyarakat.

Menurut pandangan Smits asas-asas hukum memenuhi tiga fungsi. Pertama, asas-asas hukumlah yang memberikan keterjalinan dari aturan- aturan hukum yang tersebar. Kedua, asas-asas hukum dapat difungsikan untuk mencari pemecahan atas masalah-masalahbaru yang muncul dan membuka bidang-bidang liputan masalah baru. Asas-asas hukum juga menjustifikasikan prinsip-prinsip “etikal”, yang merupakan substansi dari aturan-aturan hukum. Dari kedua fungsi tersebut di atas diturunkan fungsi ketiga, bahwa asas-asas dalam hal-hal demikian dapat dipergunakan untuk “menulis ulang” bahan-bahan ajaran hukum yang ada sedemikian, sehingga dapat dimunculkan solusi terhadap persoalan-persoalan baru yang berkembang”.

Pengertian Perjanjian di Bawah Tangan

Mengenal Apa Itu Perjanjian di Bawah Tangan

Perjanjian di bawah tangan, yang juga dikenal sebagai perjanjian lisan atau perjanjian lisan, adalah jenis perjanjian yang dibuat secara lisan atau tanpa dokumen tertulis resmi. Dalam perjanjian ini, pihak-pihak yang terlibat mencapai kesepakatan atau kesepakatan tertentu tanpa mengandalkan kontrak tertulis. Meskipun perjanjian semacam itu sah secara hukum dalam banyak yurisdiksi, mereka cenderung lebih sulit untuk diterapkan atau dibuktikan di pengadilan karena kurangnya bukti tertulis yang kuat.

Pertama, pasal 1320 KUH Perdata telah menjabarkan tentang sah-nya persetujuan, yang mana pasal ini menjadi rujukan umum bagi tiap-tiap orang yang ingin mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian. Persetujuan menjadi gerbang awal untuk terjadinya suatu perjanjian, dengan kata lain, artinya, para pihak telah menemukan kesepahaman tentang hal yang akan diperjanjikan.

Kedua, dalam praktiknya, suatu perjanjian tidak mesti dibuat melalui pejabat berwenang, karenanya kita mengenal istilah “bawah tangan” istilah ini muncul dalam pasal 1874 KUH Perdata, yang mana, sesuatu dianggap sebagai tulisan bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga, dan tulisan-tulisan yang lain yang dapat dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Perjanjian di bawah tangan dapat berlaku dalam berbagai konteks, termasuk perjanjian bisnis, perjanjian pinjaman, atau perjanjian antara individu. Namun, penting untuk diingat bahwa dalam beberapa kasus, ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian lisan menjadi sah. Misalnya, dalam beberapa yurisdiksi, perjanjian yang melibatkan jumlah uang di atas batas tertentu mungkin harus didokumentasikan secara tertulis.

Perjanjian di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat secara lisan atau tidak tertulis antara pihak-pihak yang terlibat tanpa adanya dokumen tertulis yang mengikat kesepakatan tersebut. Dalam perjanjian ini, pihak-pihak mencapai kesepakatan atau persetujuan tertentu melalui komunikasi lisan, baik secara langsung atau melalui komunikasi verbal seperti telepon. Tidak ada dokumen tertulis yang mendokumentasikan persetujuan atau ketentuan perjanjian ini.

Perjanjian di bawah tangan sering digunakan dalam berbagai konteks, termasuk dalam bisnis kecil, transaksi sehari-hari, atau perjanjian informal antara individu. Contohnya bisa mencakup pembelian barang, pinjaman uang, atau kesepakatan bisnis yang lebih sederhana. Namun, penting untuk diingat bahwa perjanjian semacam itu seringkali memiliki bukti yang lemah dan risiko hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan perjanjian tertulis yang lebih formal.

Untuk menghindari ambiguitas dan masalah hukum di kemudian hari, disarankan untuk selalu mendokumentasikan perjanjian secara tertulis, terutama jika mereka melibatkan transaksi besar atau hal-hal yang kompleks. Dokumen tertulis dapat membantu dalam membuktikan persetujuan dan ketentuan yang telah disepakati oleh semua pihak yang terlibat.

Perjanjian di bawah tangan memiliki berbagai fungsi, terutama dalam konteks hukum dan bisnis. Meskipun perjanjian semacam itu tidak selalu memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perjanjian tertulis yang lebih formal, mereka masih memegang peranan penting dalam berbagai situasi.

Berikut adalah beberapa fungsi utama perjanjian di bawah tangan sebagai berikut :

  1. Kesepakatan Sederhana yaitu Perjanjian di bawah tangan digunakan untuk mencapai kesepakatan antara pihak-pihak tanpa perlu menghadirkan kontrak tertulis yang rumit. Ini dapat menghemat waktu dan sumber daya.
  2. Fleksibilitas yaitu Mereka memberikan fleksibilitas kepada pihak yang terlibat dalam perjanjian, terutama dalam situasi di mana transaksi atau perubahan kesepakatan sering terjadi.
  3. Bisnis Kecil yaitu Dalam bisnis kecil atau startup, perjanjian lisan sering digunakan karena sifat yang lebih informal dan biaya yang lebih rendah daripada menyusun kontrak tertulis yang lengkap.
  4. Persahabatan dan Kepercayaan yaitu Dalam beberapa kasus, perjanjian di bawah tangan didasarkan pada kepercayaan dan hubungan pribadi yang kuat antara pihak-pihak yang terlibat, seperti teman, keluarga, atau mitra bisnis lama.
  5. Keseimbangan yaitu Mereka dapat digunakan untuk menyeimbangkan perubahan atau penyesuaian kecil dalam perjanjian yang ada tanpa harus menyusun kontrak baru.

Namun, penting untuk diingat bahwa perjanjian di bawah tangan memiliki risiko. Mereka cenderung lebih sulit untuk diterapkan secara hukum karena kurangnya bukti tertulis yang kuat. Oleh karena itu, jika perjanjian tersebut melibatkan transaksi besar atau penting, atau jika terdapat potensi konflik di masa depan, disarankan untuk mendokumentasikan perjanjian secara tertulis untuk menghindari ambiguitas dan masalah hukum.

Perjanjian di bawah tangan, atau perjanjian lisan, memiliki beberapa ciri-ciri yang membedakannya dari perjanjian tertulis atau formal.

Ciri-ciri utama perjanjian di bawah tangan meliputi yaitu :

  1. Lisan yaitu Perjanjian di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat secara lisan, artinya kesepakatan atau persetujuan dicapai melalui kata-kata yang diucapkan, baik secara langsung atau melalui komunikasi verbal seperti telepon. Tidak ada dokumen tertulis yang mengikat kesepakatan ini.
  2. Tidak Ada Bukti Tertulis yang Kuat yaitu Salah satu ciri utama perjanjian di bawah tangan adalah kurangnya bukti tertulis yang kuat tentang kesepakatan tersebut. Ini membuatnya sulit untuk membuktikan eksistensi dan ketentuan perjanjian di pengadilan.
  3. Informal yaitu Perjanjian ini sering kali lebih informal daripada perjanjian tertulis. Mereka mungkin tidak mengikuti format khusus atau menggunakan bahasa hukum yang khas dalam kontrak tertulis.
  4. Transaksi Sederhana yaitu Perjanjian di bawah tangan cenderung digunakan dalam transaksi sederhana atau situasi yang kurang kompleks. Mereka dapat digunakan dalam perjanjian sehari-hari seperti pembelian barang, pinjaman uang, atau kesepakatan bisnis kecil.
  5. Fleksibilitas yaitu Karena sifatnya yang kurang formal, perjanjian ini dapat lebih fleksibel dalam hal perubahan atau penyesuaian. Pihak-pihak yang terlibat dapat dengan mudah mencapai kesepakatan baru atau mengubah kesepakatan yang ada.
  6. Risiko Hukum yaitu Salah satu ciri khas perjanjian di bawah tangan adalah risiko hukum yang lebih tinggi. Karena tidak ada bukti tertulis yang kuat, sulit untuk membuktikan persetujuan atau ketentuan yang telah disepakati jika terjadi perselisihan di kemudian hari.
  7. Keterbatasan yaitu Beberapa yurisdiksi mungkin memiliki keterbatasan tertentu pada jenis perjanjian yang dapat dibuat secara lisan. Misalnya, dalam beberapa kasus, perjanjian lisan yang melibatkan jumlah uang di atas batas tertentu mungkin tidak sah.

Perjanjian di bawah tangan memiliki beberapa kelemahan yang dapat menjadi sumber masalah atau konflik di kemudian hari. Beberapa kelemahan utama perjanjian di bawah tangan termasuk yaitu :

  1. Bukti yang Lemah yaitu Salah satu kelemahan utama perjanjian di bawah tangan adalah kurangnya bukti tertulis yang kuat. Ketika tidak ada dokumen tertulis yang mengikat perjanjian, sulit untuk membuktikan eksistensinya atau ketentuannya jika terjadi perselisihan di kemudian hari. Ini bisa menjadi masalah serius jika perjanjian tersebut melibatkan jumlah uang besar atau hal-hal penting.
  2. Ambiguitas yaitu Perjanjian lisan rentan terhadap ambiguitas. Pihak-pihak yang terlibat mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang apa yang telah disepakati atau bagaimana perjanjian tersebut harus diterapkan. Ini dapat menyebabkan konflik dan perselisihan.
  3. Pengingkaran yaitu Karena tidak ada bukti tertulis yang kuat, salah satu pihak mungkin mengingkari perjanjian di bawah tangan atau mengklaim bahwa persetujuan yang disampaikan secara lisan tidak pernah terjadi. Ini dapat menghasilkan perselisihan yang sulit diselesaikan.
  4. Keterbatasan Hukum yaitu Beberapa yurisdiksi memiliki keterbatasan pada jenis perjanjian yang dapat dibuat secara lisan. Misalnya, dalam beberapa kasus, perjanjian lisan yang melibatkan jumlah uang di atas batas tertentu mungkin tidak sah.
  5. Pengawasan yang Sulit yaitu Perjanjian di bawah tangan sering kali sulit untuk diawasi dan dilaksanakan. Dalam beberapa kasus, pihak yang dirugikan mungkin menemui kesulitan untuk memaksa pihak lain untuk mematuhi persetujuan.
  6. Terbatasnya Perlindungan Hukum yaitu Pihak yang dirugikan dalam perjanjian di bawah tangan mungkin memiliki perlindungan hukum yang terbatas. Dalam banyak kasus, mengajukan tuntutan hukum atau membuktikan perjanjian lisan di pengadilan dapat menjadi proses yang rumit dan mahal.
  7. Potensi Risiko Bisnis yaitu Dalam konteks bisnis, perjanjian di bawah tangan dapat menimbulkan risiko bagi pihak-pihak yang terlibat. Jika tidak ada dokumen tertulis yang mengatur transaksi bisnis, hal itu dapat mengganggu pengelolaan bisnis dan berpotensi merugikan bisnis tersebut.

Karena kelemahan-kelemahan ini, seringkali disarankan untuk mendokumentasikan perjanjian secara tertulis, terutama jika mereka melibatkan transaksi besar atau hal-hal yang kompleks. Dokumen tertulis dapat membantu menghindari ambiguitas, memperkuat bukti, dan memberikan perlindungan hukum yang lebih baik kepada pihak-pihak yang terlibat.

Tujuan Perjanjian Tertulis

Mengenal Apa Itu Perjanjian di Bawah Tangan

Selain memiliki tujuan preventif, suatu perjanjian juga menjadi alat bukti pengadilan apabila terjadi perkara atau perselisihan. Tujuan preventif yang dimaksud yaitu untuk menegakkan dan melindungi kedua belah dari apa yang telah disepakati secara tertulis. Dan apabila sebagai alat bukti, yaitu digunakan untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum yang dinyatakan baik oleh penggugat maupun tergugat, serta meyakinkan hakim dimuka pengadilan. Karenanya, setiap orang yang membuat suatu perjanjian (secara tertulis) mesti memahami betul isi, maksud, dan tujuan dari perjanjian tersebut; hak dan kewajiban apa saja yang dimuat di dalamnya. Sebab, suatu perjanjian akan memiliki hubungan dan akibat hukum bagi para pihak.

Penggunaan Bahasa dalam Perjanjian

Berangkat dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang. Menurut  Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 menyatakan bahwa:

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

Melalui ketentuan ini jelas bahwa untuk kontrak yang para pihaknya adalah warga negara Indonesia wajib untuk menggunakan bahasa Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 ini bisa menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut batal demi hukum perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia tersebut. Alasannya, kontrak tidak memenuhi unsur “sebab atau kausa yang halal” sebagaimana disyaratkan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata.

Hubungi kami apabila Anda memiliki banyak pertanyaan mengenai Perjanjian, selain itu kami juga dapat membantu Anda untuk pendirian badan hukum / badan usaha lainnya: PT, CV, dan jenis badan usaha lainnya, kami juga dapat membantu anda dalam pengurusan perizinan pada sistem OSS.

Segera hubungi kami:
Email : info@bizlaw.co.id
Whatsapp : (+62) 812 99215128

Leave a Comment