Skip to content
Perbedaan Hukum Pajak Materil Dan Formil

Cara Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Perceraian

Cara menghitung perhitungan pembagian harta gono-gini setelah perceraian ini banyak di pertanyakan oleh masyarakat. Dalam sebuah kasus perceraian ada istilah “pembagian harta bersama” atau yang dikenal dengan “harta gono-gini” setelah perceraian tersebut.

Baca juga: Pengacara Perceraian yang Siap Membantu Anda

Oleh sebab itu Bizlaw akan mengulasnya dalam artikel berikut ini, mari kita simak.

Pasal 53 UU Perkawinan membagi harta dalam perkawinan menjadi tiga macam, yaitu:

Harta Bawaan, yaitu harta yang diperoleh suami atau istri dari sebelum perkawinan. Masing – masing mempunyai hak sepenuhnya untuk melaukan perbuatan hukum mengenai harta benda bawaannya.

Harta masing-masing suami atau istri yang diperoleh melalui warisan atau hadiah dalam perkawinan. Hak terhadap harta benda ini sepenuhnya ada pada masing-masing suami atau istri

Harta Bersama atau Gono-gini, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan

Yang dimaksud dengan harta gono-gini adalah harta benda yang dihasilkan oleh suami istri selama masa perkawinan mereka.

Perkawinan yang dimaksud ialah perkawinan yang sah, sesuai dengan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Harta gono-gini menjadi milik bersama suami istri, meskipun yang bekerja hanya suami saja atau istri saja.

Mengenai sejak kapan terbentuknya harta gono-gini, itu ditentukan oleh rasa keadilan masing- masing pihak, namun secara umum ditentukan menurut kewajaran, bukan waktu.

Pada dasarnya pembagian harta gono-gini haruslah dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana hak istri. Cara mendapatkan harta gono-gini adalah sebagai berikut:

Pembagian harta gono-gini dapat diajukan bersamaan dengan saat mengajukan gugat cerai dengan menyebutkan harta bersama dan bukti-bukti bahwa harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam “posita” (alasan mengajukan gugatan). Permintaan pembagian harta disebutkan dalam petitum (gugatan).

Pembagian harta gono-gini diajukan setelah adanya putusan perceraian, artinya mengajukan gugatan atas harta bersama.

Bagi yang menganut agama Islam, gugatan atas harta gono-gini diajukan ke pengadilan agama di wilayah tempat tinggal istri. Untuk non-Islam gugatan pembagian harta gono-gini diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal termohon.

Harta gono-gini baru dapat dibagi bila putusnya hubungan perkawinan karena kematian mempunyai ketentuan hukum yang pasti sejak saat kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu harta gono-gini sudah boleh dibagi.

Apabila keputusan hakim yang menentukan putusnya hubungan perkawinan belum mempunyai kekuatan pasti, maka harta gono-gini antara suami dan istri itu belum dapat dibagi.

Mengacu pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 89K/Sip/1968, selama seorang janda tidak kawin lagi dan selama hidupnya harta gono-gini dipegang olehnya tidak dapat dibagi guna menjamin penghidupannya.

Dalam Pasal 156 Komplikasi Hukum Islam putusnya perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama adalah harta bersama tersebut dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 97 yang memuat ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta gono-gini sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Ketentuan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Komplikasi Hukum Islam Pasal 97 sejalan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu cara pembagiannya biasanya adalah dengan membagi rata, masing-masing (suami-istri) mendapat setengah bagian dari harta gono-gini tersebut.

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 49 dan penjelasan Ayat (2) angka (10), ditegaskan bahwa “yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah penyelesaian harta bersama”.

Menurut putusan Mahkamah Agung Reg. No. 258 K/Sip./1959, pembagian harta gono-gini tidak dapat dituntut oleh orang lain dari pada anak atau istri atau suami dari yang meninggalkan gono- gini.

Dalam Undang-Undang Perkawinan, pengaturan harta bersama tersebut belum memperoleh penyelesaian yang tuntas.

Pasal 37 menyebutkan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Adapun yang dimaksud dengan rumusan “hukumnya masing- masing” adalah hukum agama, hukum adat atau hukum-hukum lainnya”.

Pentingnya Perjanjian Perkawinan Terhadap Harta Gono-Gini Atau Harta Bersama

Perjanjian perkawinan diperlukan untuk mempermudah dalam memisahkan mana yang merupakan harta gono-gini dan mana yang bukan agar jika terjadi perceraian, pembagian harta gono-gininya dapat dengan mudah diselesaikan.

Dengan begitu perselisihan antar pasangan suami istri yang sudah bercerai tidak perlu berkepanjangan. Lebih lagi mereka harus menyelesaikan persoalan-persoalan lain yang berkenaan dengan pemutusan hubungan perkawinan mereka.

Maka untuk itu perjanjian perkawinan tetap penting dan bermanfaat bagi siapa saja yang terikat dalam hubungan perkawinan.

Secara khusus, perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi secara hukum harta bawaan masing-masing pihak suami istri.

Artinya perkawinan dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan masalah-masalah rumah tangga yang terpaksa harus berakhir, baik karena perceraian maupun kematian.

Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka akan jelas dibedakan mana yang merupakan harta gono-gini yang perlu dibagi dua secara merata.

Adanya perjanjian perkawinan, maka hak-hak dan keadilan bagi soorang Istri dapat terlindungi. Perjanjian perkawinan dapat dijadikan pegangan agar suami tidak memonopoli harta gono-gini dan harta kekayaan pribadi istrinya.

Disamping itu, dari sudut pemberdayaan perempuan, perjanjian tersebut bisa menjadi alat perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Perjanjian perkawinan memang tidak diharuskan. Hanya banyak manfaat yang bisa dirasakan jika sebuah perkawinan itu juga diserta adanya perjanjian perkawinan terlebih dahulu.

Pembagian Harta Gono-gini

Cara Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Perceraian

Penting untuk diingat bahwa putusan perceraian tidak secara otomatis memutuskan atau menetapkan mengenai pembagian harta gono-gini dalam perkawinan.

Pengajuan pembagian harta gono-gini dapat diajukan sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bagi pasangan suami istri yang perkawinannya dicatatkan ke kantor catatan sipil maka gugatannya diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat.

Sedangkan bagi yang perkawinannya dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), maka permohonan/gugatan diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal istri.

Pembagian harta gono-gini juga dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian kesepakatan bersama antara suami dan istri yang dibuat di hadapan Notaris.

Notaris akan membantu perhitungan seluruh aset dalam perkawinan meliputi proses-proses yang perlu dilakukan jika ada pemindahan aset dan lain sebagainya.

Apabila tidak ada putusan atau penetapan mengenai pembagian harta gono gini, maka setiap perbuatan hukum terhadap harta benda yang terdaftar atas nama salah satu pihak, harus mendapatkan persetujuan dari mantan suami/istri.

Tentu hal ini sangat menyulitkan Anda yang sudah bercerai, sehingga pembagian harta gono-gini setelah perceraian sudah menjadi kewajiban bagi suami istri yang sudah/akan bercerai.

Baca juga: Ini Dia Tips Memilih Pengacara Perceraian Jakarta

Hubungi kami

Bizlaw memiliki jasa Notaris yang profesional dan dapat membantu anda sesuai dengan kebutuhan anda termasuk didalamnya membuat perjanjian kesepakatan bersama antara suami dan isteri terkait pembagian harta gono-gini.

Info lengkap :

info@bizlaw.co.id atau WhatsApp 08119298182

Leave a Comment