Skip to content

Perusahaan Mau PHK Karyawan Saat Krisis Corona? Tunggu Dulu!

Dalam menjalankan bisnis, perusahaan akan berhadapan dengan karyawan dengan berbagai latar belakang pendidikan, karakter hingga suku yang berbeda. Sehingga cara pandang dan pemahaman mereka terhadap peraturan yang berlaku di perusahaan dapat berbeda. Oleh karena itu, negara sudah mengaturnya dalam undang-undang ketenagakerjaan dan peraturan turunannya untuk menjaga kepentingan perusahaan dan karyawannya. Disinilah urgensi bagi perusahaan untuk membuat peraturan perusahaan (PP). Tujuannya, agar semua karyawan dapat memiliki rujukan dan panduan mengenai ketentuan dalam bekerja di perusahaan tersebut. Disamping itu, perusahaan juga dapat membuat perjanjian kerja sama bersama (PKB) dengan karyawan untuk menentukan syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

 

Undang-undang ketenagakerjaan sudah 17 tahun diberlakukan, namun belum semua perusahaan di Indonesia menaati semua peraturan yang ada di dalamnya. Aturan hukum yang terkesan sepele namun menjadi kewajiban bagi perusahaan adalah Perusahaan yang memperkerjakaan 10 karyawan wajib membuat Peraturan Perusahaan yang memuat sekurang-kurangnya:

  1. Hak dan Kewajiban Pengusaha;
  2. Hak dan Kewajiban Karyawan;
  3. Syarat Kerja;
  4. Tata Tertib Perusahaan; dan
  5. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

 

Kenapa harus Membuat PP?

  1. Memberikan kepastian mengenai hak dan kewajiban perusahaan dan karyawan

 Setiap pihak dapat mengetahui hak dan kewajibannya secara jelas, berdasarkan norma-norma yang diatur. Sehingga apabila ada hak-hak yang tidak dipenuhi oleh keduanya,  maka pihak yang haknya tidak dipenuhi dapat menuntut pemenuhan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Ketentuan mengenai upah, waktu istirahat, cuti, libur, jaminan kesehatan, dana pensiun, dapat diatur dalam PP

  1. Perusahaan jadi tertib

Perusahaan dalam menjalankan kegiatannya tidak dapat dipungkiri ada kemungkinan karyawan melakukan hal-hal yang tidak sesuai norma. Bahkan karyawan bisa saja  melakukan tindakan yang menyalahi hukum. PP mengatur tata tertib dalam perusahaan yang harus dipatuhi semua dan bisa memberikan ketentuan sanksi, sehingga  meminimalisir suatu yang tidak diinginkan dan menerapkan sanksi hukum sesuai yang telah ditetapkan.

  1. Terhindar dari sanksi

Membuat PP hukumnya wajib bagi pengusaha yang memiliki paling sedikit 10 (sepuluh)                  karyawan. Jika tidak perusahaan bisa dikenakan sanksi pidana denda paling banyak Rp. 50 Juta (Pasal 188 ayat (1) UU Ketenagakerjaan).

 

Dampak pandemi Virus Corona atau COVID-19 memberikan dampak besar bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dirasakan langsung oleh perusahaan. Beberapa dampak yang dirasakan perusahaan seperti gerak bisnis menjadi lebih lambat hingga penurunan pendapatan. Dampak yang sangat besar tersebut kemudian membuat arah kebijakan perusahaan berubah. Untuk menekan besarnya biaya yang dikeluarkan, perusahaan mau tidak mau melakukan sejumlah langkah. Misalnya dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga memberikan cuti tak berbayar (unpaid leave) atau dirumahkan sementara. Namun, sebelum perusahaan benar-benar melakukan PHK karyawan, ada baiknya memperhatikan dulu hal-hal ini.

 

  1. Pastikan Perusahaan dalam Kondisi Merugi

Pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak terhadap kesehatan saja tetapi juga sektor ekonomi yang juga ikut terpukul. Hal tersebut akhirnya mempengaruhi produksi dan penjualan pada berbagai perusahaan. Perusahaan yang merasakan dampak harus segera melakukan mitigasi kerugian. Pemutusan Hubungan Kerja menjadi satu pilihan yang dipilih oleh pelaku usaha untuk menekan pengeluaran perusahaan agar perusahaan dapat kembali stabil. Namun, apakah melakukan PHK dapat dibenarkan dalam keadaan seperti ini?

 

Tidak serta merta perusahaan dapat melakukan PHK karena mengalami kerugian, force majeur atau untuk efisiensi yang diakibatkan karena terjadinya pandemi yang dapat merugikan perusahaan. Ada ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga PHK dapat dilakukan oleh Perusahaan.

Pasal 164 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur PHK dapat dilakukan jika perusahaan yang mengalami kerugian, force majeur atau untuk efisiensi. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagaimana berikut:

 

  1. Perusahaan dapat melakukan PHK dengan Alasan Mengalami Kerugian

Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun. Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

 

Menurut Pasal 164 UU Ketenagakerjaan Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena atau keadaan memaksa (force majeur). Pasal 1245 KUHPerdata Pasal ini menyebutkan:

 

“Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

 

Dalam hal ini pekerja berhak masing-masing satu kali atas uang pesangon pesangon, uang penghargaan masa kerja sebesar dan uang penggantian hak sesuai pasal 156 UU Ketenagakerjaan.

 

  1. Perusahaan Dapat Melakukan PHK dengan Alasan Efisiensi

Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup karena perusahaan melakukan efisiensi. Berkaitan dengan PHK dengan alasan Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan penafsiran dalam Putusan MK No. 19/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

 

MK Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”, pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”.

 

Dari Putusan MK tersebut dapat diambil kesimpulan, PHK dengan alasan efisiensi itu konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu. Jadi alasan Perusahaan dapat melakukan PHK karena alasan efisiensi harus dengan syarat perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu.

 

  1. Perhatikan Status Perjanjian Kerja antara Perusahaan dan Karyawan

Status pekerja baik pekerja dengan PKWT dan PKWTT adalah hal pertama yang harus diperhatikan jika perusahaan akan melakukan PHK. Jika perusahaan memutus hubungan kerja pekerja yang berstatus PKWT sebelum masa kerja berakhir maka perusahaan wajib membayar ganti rugi kepada pihak pekerja sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

 

Sedangkan apabila perusahaan melakukan PHK kepada pekerja yang berstatus PKWTT maka Perusahaan wajib membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.

 

 

  1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak diatur dalam Pasal 57 UU Ketenagakerjaan. PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Dalam Pasal 59 ayat (1) Pekerja dianggap sebagai PKWT apabila kontrak kerja tidak lebih dari 3 (tiga) tahun dan tidak ada masa percobaan kerja (probation).

 

  1. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) diatur dalam Pasal 60 UU Ketenagakerjaan. PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap atau biasa disebut karyawan tetap.

 

Pada PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka berdasarkan aturan hukum, sejak bulan keempat, pekerja dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT).

 

  1. Perhatikan Pemberian Kompensasi dan Citra Bisnis

Perusahaan tetap boleh melakukan PHK terhadap pekerjanya dengan beralasan adanya COVID-19. Namun harus siap dengan konsekuensi pembayaran kompensasi maksimal sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja. Ini juga menyangkut citra bisnis dari perusahaan tersebut.

 

Apa yang dapat dilakukan Perusahaan?

  1. Jujur dan transparan

Perusahaan harus bisa menjelaskan kondisi dan situasi saat ini dan bagaimana arah ke depan perusahaan agar karyawan dapat memahaminya.

  1. Tentukan sikap terhadap arah bisnis perusahaan.

Apa yang akan dikerjakan oleh perusahaan. Tetap di bisnis yang ada atau pivot atau melakukan keduanya. Oleh karena itu, arahkan tim yang ada dengan kebutuhan tersebut.

  1. Melakukan PHK atau menerapkan No Work No Pay?
  2. Untuk yang status kontrak, jika berakhir tidak perlu diperpanjang;
  3. Mengubah status dari karyawan menjadi Mitra/Distributor/Reseller/Freelance sehingga menjadi variable cost. Caranya, lakukan kesepakatan mengenai pengakhiran hubungan kerja melalui negosiasi dengan karyawan melalui perundingan bipartite.
  4. Lakukan penjadwalan pembayaran kompensasi, berikan sesuai kemampuan saat ini dan sisanya sesuai jadwal yang ditentukan.
  5. Buat kesepakatan dengan karyawan jika ada komitmen baru terkait situasi saat ini

 

Dalam situasi seperti ini, diperlukan suatu kebijaksanaan perusahaan, kelegowoan pekerja bahkan serikat pekerja, untuk jernih dalam menyikapi situasi ini. Jika ingin menyelamatkan diri masing-masing dan saling keras, maka tidak akan ada yang menang karena ini bukan kompetisi.

 

Sekarang Anda sudah mengetahui betapa pentingnya peraturan perusahaan terhadap karyawannya untuk melindungi perusahaan anda dari pelanggaran hukum.

 

Jika ingin berkonsultasi dan membutuhkan jasa hukum bagi perusahaan

 

Hubungi Kami

info@bizlaw.co.id

0812-9921-5128

South Quarter, Tower A lantai 18. Jl. RA. Kartini Kav 8, Cilandak, Jakarta Selatan, Jakarta, Indonesia

Leave a Comment