Skip to content
PT PMA Jasa Konstruksi Beserta Izinnya

Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

Proses pembuktian perkara perdata di pengadilan dapat dilakukan oleh hakim dengan cara menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.

Pembuktian merupakan suatu upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil gugatan/bantahan dalil gugatan yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di persidangan.

Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara.

Dalam hukum acara perdata hukum pembuktian memiliki kedudukan yang sangat penting didalam proses persidangan.

Bahwa hukum acara perdata atau hukum perdata formal bertujuan untuk mempertahankan dan memelihara hukum perdata materiil.

Jadi pada intinya adalah secara formal hukum pembuktian tersebut mengatur untuk bagaimana mengadakan pembuktian seperti yang terdapat dalam RBg dan HIR.

Sedangkan secara materiil, hukum pembuktian mengatur dapat atau tidaknya pembuktian itu diterima dengan alatalat bukti tertentu dipersidangan dan kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut sejauh mana dapat dibuktikan.

Baca juga: Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Perdata

Didalam proses pembuktian dimuka persidangan penggugat wajib membuktikan gugatannya dan tergugat wajib membuktikan bantahannya. Suatu putusan harus selalu berdasarkan bukti-bukti yang ada selama proses persidangan.

Sehingga menang dan kalahnya suatu pihak dalam perkara bergantung pada kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang dimilikinya. Baik secara tertulis maupun lisan, tetapi harus diiringi atau disertai dengan bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya.

Dengan demikan, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan didepan persidangan.

Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa dimuka pengadilan ataupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan (jurdicto voluntair)

Prinsip Hukum Pembuktian

Pembuktian-dalam-Hukum-Acara-Perdata
Prinsip Hukum Pembuktian

Yang dimaksud dengan prinsip hukum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip yang sudah ditentukan. Prinsip-prinsip hukum pembuktian secara umum meliputi :

Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil.

Didalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil.

Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan oleh hukum untuk mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.

Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.

Dalam mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun para pihak yang berperkara, yaitu sebagai berikut :

Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif

Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan oleh penggugat dan tergugat. Oleh Karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas :

1) Mencari dan menemukan kebenaran formil;

2) Kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung.

Sehubungan dengan sifat pasif tersebut, apabila hakim yakin bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi penggugat tidak mampu mengajukan bukti tentang kebenaran yang diyakininya, maka hakim harus menyingkirkan keyakinan tersebut dengan menolak kebenaran dalil gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam persidangan.

Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta

Dalam hal ini hakim tidak dibenarkan dalam mengambil putusan tanpa adanya pembuktian. Ditolak atau dikabulkannya gugatan mesti berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak.

Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta dan pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada fakta-fakta yang mendukungnya. Fakta-fakta yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1) Fakta yang dinilai, diperhitungkan dan terbatas yang diajukan dalam persidangan.

Para pihak diberi hak dan kesempatan menyampaikan bahan atau alat bukti, kemudian bahan atau alat bukti tersebut diserahkan kepada hakim.

Sedangkan bahan atau alat bukti yang dinilai membuktikan kebenaran yang didalilkan pihak manapun, hanya fakta langsung dengan perkara yang disengketakan.

Apabila bahan atau alat bukti yang disampaikan dipersidangan tidak mampu membenarkan fakta yang berkaitan dengan perkara yang disengketakan maka tidak bernilai sebagai alat bukti.

2) Fakta yang terungkap diluar persidangan

Diatas telah dijelaskan bahwa hanya fakta-fakta yang diajukan dipersidangan yang boleh dinilai dan diperhitungkan menentukan kebenaran dalam mengambil putusan.

Artinya bahwa fakta yang boleh dinilai dan diperhitungkan hanya yang disampaikan para pihak kepada hakim dalam persidangan.

Dalam hal ini hakim tidak dibenarkan untuk menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang tidak diajukan pihak yang berperkara.

Contohnya, fakta yang ditemukan hakim dalam majalah atau surat kabar adalah fakta yang diperoleh hakim dari sumber luar, bukan dalam persidangan maka tidak dapat dijadikan fakta untuk membuktikan kebenaran yang didalilkan oleh salah satu pihak.

Banyak fakta yang diperoleh dari berbagai sumber, selama fakta tersebut bukan diajukan dan diperoleh dalam persidangan maka fakta tersebut tidak dapat dinilai dalam mengambil keputusan.

Fakta yang demikian disebut out of court.

Oleh karenanya fakta tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk mencari dan menemukan kebenaran.

Macam-Macam Alat Bukti

Pembuktian-dalam-Hukum-Acara-Perdata
Macam-Macam Alat Bukti

Dalam hukum acara perdata yang menyebutkan bahwa hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah.

Artinya dalam mengambil suatu keputusan, hakim senantiasa terikat dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh UndangUndang.

Macam-macam alat bukti dalam hukum acara perdata menurut RBg/HIR dan KUHPerdata, meliputi :

1. Alat bukti tertulis atau surat;

2. Alat bukti saksi;

3. Alat bukti persangkaan;

4. Alat bukti pengakuan;

5. Alat bukti sumpah.

Alat Bukti Tertulis atau Surat

Dalam hukum acara perdata, dasar hukum alat bukti tertulis atau surat diatur dalam Pasal 164 RBg / Pasal 138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUHPerdata.

Alat Bukti Saksi

Tidak selamanya dalam sengketa perdata mengenai pembuktian dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataannya bisa terjadi penggugat tidak memilki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatannya.

Dan alat bukti tulisan yang ada tidak mencukupi batas minimal pembuktian karena alat bukti tulisan yang dimilik penggugat hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan.

Dengan demikian jalan keluar yang dapat ditempuh penggugat untuk membuktikan dalil gugatannya ialah dengan cara menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami sendiri atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan tersebut.

Undang-undang membedakan orang yang cakap (competence) menjadi saksi dengan orang yang dilarang/tidak cakap untuk menjadi saksi (incopetency) menjadi saksi.

Berdasarkan prinsip umum, setiap orang dianggap cakap menjadi saksi kecuali Undang-undang sendiri menentukan lain.

Apabila Undang-undang telah menentukan orang tertentu tidak boleh memberikan keterangan sebagai saksi, maka secara yuridis orang tersebut termsuk kategori tidak cakap sebagai saksi.

Orang-orang yang dilarang didengar sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 172 RBg / 145 HIR, Pasal 174 RBg / Pasal 146 HIR serta Pasal 1909 dan Pasal 1910 KUHPerdata adalah sebagai berikut :

Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi yaitu :

  1. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu pihak;
  2. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
  3. Anak-anak yang belum berusia 15 tahun;
  4. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.

Seseorang yang dapat digunakan atau didengar sebagai saksi apabila memenuhi syarat antara lain :

  1. Berumur diatas 15 tahun; (pasal 145 (1) sub 3e jo (4) HIR, pasal 1912 (1) KUHPerdata)
  2. Tidak sedang terganggu jiwanya (pasal 145 (1) sub 4c HIR, pasal 1912 (1) KUHPerdata)
  3. Bukan keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak (pasal 145 (1) sub 1e HIR, pasal 1910 (1) KUHPerdata)
  4. Seseorang yang melihat atau mengalami sendiri kejadian itu memang ada yang dengan sengaja diajak untuk menyaksikannya, tetapi ada juga yang hanya secara kebetulan saja.

Kesaksian yang harus diberikan oleh saksi dimuka persidangan haruslah tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri serta saksi harus memberikan alasan atau dasar yang melatarbelakangi kejadian tersebut.

Dalam hal ini saksi dilarang menyimpulkan, membuat dugaan ataupun memberikan pendapat tentang kesaksian yang ia terangkan, dalam hal tersebut kesaksian yang demikian tidak dapat dianggap sebagai kesaksian (Pasal 308 RBg / Pasal 171 ayat (2) HIR dan Pasal 1907 KUHPerdata).

Hubungi Kami

Nahh sekarang Teman Bizlaw udah pada paham pembuktian dalam hukum acara perdata seperti apa. Untuk keperluan jasa hukum maupun konsultasi hubungi Bizlaw!

Bizlaw.co.id merupakan konsultan penyedia jasa perizinan, legalitas dan menyediakan bantuan serta pendampingan hukum terpercaya di Indonesia. Kami siap membantu anda!

Email: info@bizlaw.co.id

WhatsApp: 0811-9298-182

Leave a Comment