Bizlaw

Alat Bukti Pengakuan dalam Hukum Acara Perdata

Alat-Bukti-Pengakuan-dalam-Hukum-Acara-Perdata

Alat Bukti Pengakuan dalam Hukum Acara Perdata – Perkara perdata adalah suatu perkara yang menyangkut hak-hak keperdataan seseorang atau pribadi. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas dan peran hakim perkara perdata bersifat pasif.

Dalam hal ini, hakim dalam perkara perdata hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan oleh para pihak, penggugat dan tergugat.

Kebenaran diwujudkan sesuai dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan para pihak selama proses persidangan. Bertitik tolak dari hal tersebut dan berdasarkan pengalaman penulis sebagai petugas penanganan perkara, saat proses pemeriksaan perkara masuk pada tahap Pembuktian,

Alat Bukti Perdata

Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Macam-macam alat bukti terdiri atas:

  1. Bukti tulisan
  2. Saksi
  3. Persangkaan
  4. Pengakuan
  5. Sumpah

Pada prakteknya, masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan ialah “pengetahuan hakim”.

Yang dimaksud dengan “pengetahuan hakim” adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang-barang penggugat yang di rusak oleh tergugat dan sampai seberapa jauh kerusakannya itu.

Perihal pengetahuan hakim tersebut di atas, Mahkamah Agung dengan keputusannya tertanggal 10 April 1957 No. 213 k/Sip/1955 telah memberi pendapatnya sebagai berikut: “hakim-hakim berdasarkan pasal 138 ayat (1) bersambung dengan pasal 164 Herziene Indonesisch Reglement tidak ada keharusan mendengar penerangan seorang ahli, sedang penglihatan hakim pada suatu tanda tangan di dalam sidang boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuan sendiri di dalam usaha pembuktian”.

Melihat putusan tersebut di atas nampak jelas, bahwa “pengetahuan hakim” merupakan alat bukti.

Alat Bukti Pengakuan

Alat bukti pengakuan diatur secara khusus dalam Pasal 174-176 HIR, Pasal 311-313 RBg dan Pasal 1923-1928 KUHPerdata. definisi pengakuan adalah suatu keterangan yang membenarkan peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan.

Pengakuan terbagi menjadi dua menurut Pasal 1923 KUHPerdata yaitu, Pengakuan yang diberikan di muka hakim dalam persidangan dan pengakuan yang diberikan di luar persidangan.

Dalam Pasal 1923 dan Pasal 1925 KUH Perdata, serta Pasal 174 HIR diatur syarat formil dalam mengajukan pengakuan agar dapat dikatakan sah sebagai alat bukti, yaitu pengakuan harus dikemukakan dimuka Hakim dalam proses pemeriksaan di persidangan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengakuan yang dilakukan tidak dimuka hakim dan diluar persidangan tidak sah dan tidak memiliki nilai sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1927 KUH Perdata dan Pasal 175 HIR. Pengakuan sebagai alat bukti dibagi dalam tiga bentuk sebagai berikut:

1. Pengakuan murni dan bulat (aveu pur et simple).

Dalam pengakuan murni dalam pengakuannya tidak ada pembantahan sekecil apapun terhadap tuntutan atau dalil yang dikemukakan dalam gugatan. tergugat mengakui sepenuhnya terhadap dalil atau gugatan tersebut.

Akibat dari pengakuan murni:

a. Gugur kewajiban beban bukti kepada pihak lawan untuk membuktikan dalil gugatan, walaupun pengakuan tersebut belum tentu benar

b. Berakhirnya perkara yang disengketakan

c. Hakim harus menyudahi pemeriksaan perkara dengan menjatuhi putusan.

2. Pengakuan berkualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie).

Pengakuan berkualifikasi adalah pengakuan terhadap dalil gugat yang dibarengi dengan syarat. Jadi pada pengakuan berkualifikasi pihak yang mengakui menambahkan sesuatu terhadap inti persoalan yang diakuinya berupa syarat.

Contoh: Penggugat menyatakan bahwa Tergugat telah membeli rumah dari Pengugat dengan berhutang sebesar Rp. 50.000.000,- atas gugatan Penggugat tersebut Tergugat mengaku memang berhutang membeli rumah dari Penggugat, tetapi harganya hanya Rp. 30.000.000,- bukan Rp. 50.000.000,- sebagaimana yang didalilkan oleh Penggugat.

3. Pengakuan berklausula (geclausuleerde bekentenis,aveu complexe).

Maksudnya adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Dengan kata lain pengakuan yang berklausula ini adalah jawaban Tergugat yang merupakan pengakuan tentang hal pokok yang diajukan Penggugat, namun diiringi dengan bantahan terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat.

Contoh: Penggugat menyatakan bahwa Tergugat berhutang membeli rumah dari Penggugat sebesar Rp. 50.000.000,- Selanjutnya Tergugat mengaku bahwa benar Tergugat berhutang membeli rumah Penggugat seharga Rp. 50.000.000,- namun telah dibayar lunas kepada Penggugat.

Pengakuan berkualifikasi dan Pengakuan berklausula sebagaimana telah disebutkan pada huruf b dan c diatas, disebut juga pengakuan yang tidak murni atau pengakuan bersyarat. Dalam hal ini dapat ditambahkan sebagai contoh yaitu putusan MARI No. 8 K/Sip/1957, tanggal 20 Mei 1958.

Dalam kasus ini Penggugat mendalilkan tanah terperkara adalah miliknya dan minta pengosongan. Atas dalil tersebut Tergugat memberikan pengakuan bahwa benar semula tanah terperkara milik Penggugat, akan tetapi tanah tersebut telah Tergugat beli dari Penggugat.

Sehubungan dengan pengakuan bersyarat, pasal 176 HIR, 313 R.Bg telah menetapkan azas yang disebut “onsplitbaar aveau”. Pengakuan bersyarat tidak boleh dipecah atau dipisah dengan cara: menerima sebagian dan menolak sebagian lainnya.

Dengan demikian pengakuan besyarat harus diterima secara keseluruhan. Adapun rasio dari larangan memecah pengakuan bersyarat untuk menghindari cara-cara penerapan yang menimbulkan kerugian secara tidak adil dan tidak wajar bagi salah satu pihak.

Contoh putusan diatas, jika hakim hanya mengambil pengakuan tanah terperkara semula benar milik Pengggugat, berarti secara tidak adil hakim menguntungkan Penggugat, sekaligus merugikan Tergugat.

Jika hakim pengambil pengakuan Tergugat bahwa tanah terperkara telah dibelinya, penerapan tersebut jelas menguntungkan Tergugat secara tidak adil dan merugikan Penggugat secara tidak wajar.

Syarat formil dan materil dari alat bukti Pengakuan

Syarat formil dan materil dari alat bukti Pengakuan

1. Syarat formil pengakuan:

a. Pengakuan disampaikan dalam proses pemeriksaan sidang.

Pengakuan diluar sidang tidak bernilai sebagai alat bukti. Walaupun hakim mendengar suatu penegasan pengakuan tentang apa yang diperkarakan, tetapi pengakuan terseut diberikan diluar sidang, maka dianggap tidak memenuhi syarat formil sebagai alat bukti pengakuan.

b. Pengakuan diberikan oleh pihak materil atau kuasanya.

Bisa disampaikan dalam bentuk lisan atau bisa dituangkan secara tertulis dalam replik, duplik atau kesimpulan. Namun apabila disampaikan oleh kuasa harus dengan surat kuasa khusus yang dibuat untuk keperluan tersebut. Surat kuasa khusus untuk mewakili dalam perkara, belum cukup untuk dipergunakan kuasa mengucapkan pengakuan dalam persidangan tersebut.

2. Syarat materil pengakuan:

a. Pengakuan yang diberikan teresebut langsung berhubungan dengan pokok perkara.

b. Pengakuan tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata dan terang.

c. Pengakuan tidak bertentangan dengan hukum, susila, agama dan ketertiban umum.

Nilai Pembuktian Pengakuan dalam Persidangan.

1. Nilai pembuktian pengakuan murni dan bulat.

Batas minimal pembuktian pengakuan murni dapat merujuk pada ketentuan pasal 174 HIR, 311 R.Bg dan 1925 BW:

 Pengakuan murni mengandung nilai pembuktian yang:

– sempurna (volledeg)

– mengikat (bindend), dan

– menentukan atau memaksa (beslisend, dwingend)

oleh karena itu, alat bukti pengakuan murni dan bulat, dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti, dan tidak memerlukan tambahan atau dukungnan dari alat bukti yang lain. dengan demikian pada diri alat bukti pengakuan yang murni dan bulat, sudah dengan sendirinya tercapai batas minimal pembuktian.

2. Nilai pembuktian pengakuan bersyarat:

a. tidak mempunyai nilai yang sempurna, mengikat dan menentukan.

b. oleh karena itu tidak dapat berdiri sendiri,

c. harus dibantu sekurang-kurangnya dengan salah satu alat bukti yang

lain.

Maka nilai kekuatan pembuktiannya menjadi bersifat berkekuatan pembuktian bebas.

Pada kesempatan ini dapat juga ditambahkan bahwa Pencabutan atau penarikan kembali pengakuan hanya dimungkinkan apabila:

a. Karena kekeliruan terhadap kenyataan peristiwa (dwaling).

b. Pencabutan diganti dengan keterangan yang dapat dibuktikan kebenarannya dengan dalil baru.

Hubungi Kami

Nahh sekarang Teman Bizlaw udah pada paham Alat Bukti Pengakuan dalam Hukum Acara Perdata seperti apa. Untuk keperluan jasa hukum maupun konsultasi hubungi Bizlaw!

Bizlaw.co.id merupakan konsultan penyedia jasa perizinan, legalitas dan menyediakan bantuan serta pendampingan hukum terpercaya di Indonesia. Kami siap membantu anda!

Email: info@bizlaw.co.id

WhatsApp: 0811-9298-182